ga ada yang gak mungkin di dunia ini......

Minggu, 16 Januari 2011

IMPLIKASI RUU-BHP DAN PERPRES 77/2007 TERHADAP PERGURUAN TINGGI

A. Pendahuluan
Masuknya arus globalisasi dan industrialisasi sebagai titik tolak tanda kemajuan zaman di satu sisi merupakan angin segar bagi pertumbuhan suatu negara, terutama dari sisi pendapatan negara (Baca: ekonomi) dan tentu saja ukuran peradaban itu sendiri. Di sisi yang lain, yang harus diwaspadai dari hadirnya era ini adalah perubahan signifikan dari pola dan gaya hidup manusia yang mengarah pada gaya hidup instan, hipokrit, orientasi sesaat dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Jika arus globalisasi dan industrialisasi ini tidak dihadapi dengan bijak, maka sudah barang tentu akan merugikan banyak hal, terutama pembagunan aspek moralitas yang menjadi standar kepribadian suatu bangsa.
Pendidikan sebagai sebuah sarana menciptakan manusia yang unggul dan berkualitas akan semakin terhambat dan juah dari harapan, jika arus globalisasi dan industrialisasi tidak mampu disikapi dengan menghadirkan kekuatan nilai sebagai filternya. Hal ini penting, mengingat sering terkuaknya problematika, dehumanisasi, dekadensi dan tindakan tidak bermoral yang dilakukan kalangan terpelajar dan terdidik yang mencoreng dunia pendidikan. Sehingga banyak asumsi yang cukup ironis bahwa dunia pendidikan saat ini berjalan di tempat, surat dan tidak ada harapan dalam perbaikan.
Lembaga Pendidikan yang dikelola oleh lembaga pendidikan dari berbagai jenjang memiliki hambatan yang cukup signifikan seiring dengan timbulnya persoalan di atas. Salah satunya adalah lembaga pendidikan tinggi (baca : Perguruan Tinggi). Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi dalam menciptakan intelektual muda yang berkualitas dan menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam menilai produk perguruan tinggi tersebut. Banyak kalangan yang menilai bahwa pengelolaan lembaga Perguruan Tinggi belum mencapai hakekat dan tujuan pendidkan itu sendiri. Beberapa pendapat berasumsi dengan berbagai keprihatinan tehadap pengelolaan lembaga pendidikan tinggi.
Pertama : munculnya paham liberalisme dan bahkan neoliberalisme memunculkan paradigma bahwa pendidikan tidak hanya berkutat tentang bagaimana proses transformasi nilai itu diberikan kepada peserta didik (baca: mahasiswa) sebagai upaya dalam menciptakan manusia yang unggul dan berkualitas sesuai dengan amanat Undang-Undang, melaikan pendidikan dapat dijadikan sebagai obyek dan peserta didik sebagai capted market, lembaga pendidikan sebagai media untuk mendapatkan keuntungan finansial dari kalangan kapital (Pemodal). Imbasnya adalah lahirnya komersialisasi pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) dan sudah barang tentu, kuliah di PT hanya mampu dicapai oleh orang-orang mampu (the have), dan sebaliknya, kuliah di PT hanya menjadi kembang tidur bagi kalangan miskin (the poor). [1]
Kedua : Adanya harapan perbaikan dalam sistem pendidikan nasional dengan lahirnya perubahan paradigma dari sentralistik ke desantralisasi dalam wujud otonomi daerah belum sepenuhnya dijalankan meskipun sudah tertuang dalam amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu pendelasian otoritas pendidikan pada daerah dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam program-program kurikuler serta pengembagan lainnya dan menjadikan pemerintah (baca : pusat) bersifat fasilitator terhadap berbagai usulan dan pengembangan pendidikan.[2] Hal ini dapat dilihat dari standar mutu kelulusan pendidikan, kurikulum, dan kebijakan makro lainnya dalam segi oprasionalnya tidak sesuai dengan asas disentralisasi. Kasus standar kelulusan, yaitu Ujian Nasional (UN) yang terus mendapat sorotan dari berbagai praktisi pendidikan tentang masih kuatnya intervensi pusat.
Kedua persoalan di atas merupakan tugas rumah yang cukup berat bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam pengelolaan pendidikan. Perguruan Tinggi yang diwakili Perguruan Tinggi Nasional (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) harus menghadapi persoalan yang cukup pelik saat ini,
B. Pembahasan
1. Mengenal Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP
Lahirnya Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 sebagai penguat dari Pengesahan UU. No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Perpres No. 76. tahun 2007 menetapkan kriteria dan persyaratan untuk bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal. Sedangkan Perpres No 77 tahun 2007 menetapkan 25 bidang usaha yang tertutup dan 291 bidang yang terbuka untuk penanaman modal dalam dan luar negeri dengan atau tanpa persyaratan. Di antara bidang-bidang usaha yang terbuka termasuk”bidang usaha” pendidikan yakni bidang usaha pendidikan dasar dan menengah, bidang usaha pendidikan tinggi, dan pendidikan pendidikan non-formal. Satu-satunya persyaratan yang ditetapkan kepemilikan modal oleh pihak luar terbatas sebesar 49 persen.
RUU BHP adalah Rancangan Undang-Undang Badah Hukum Perguruan Tinggi yang berujuan melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU.[3]Setidaknya ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan:

1. Lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional.
2. Dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan. Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola. [4]
2. Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan RUU BHP: Pintu Neo-Liberalisme
Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Butir c. telah dirumuskan sebagai berikut:
“sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntuan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah menetapkan perlunya penataan dan restrukturisasi sistem pendidikan pada tataran nasional sampai satuan pendidikan sehingga sistem tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi dan akuntabel terhadap publik. Salah satu penataan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menetapkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menetapkan dalam Pasal 53 (1) s/d (4) sebagai berikut:
(1) Penyelengara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah dan masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum sebagaimana dimasudkan dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan system pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.[5]
Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan yang segera akan diundangkan telah menimbulkan kegusaran dan kecemasan luar biasa di kalangan masyarakat terutama penyelenggara perguruan swasta karena beberapa hal di antaranya dalam RUU tersebut tidak juga tampak adanya kesadaran pengambil kebijakan negara terhadap tanggung jawab untuk memikul amanat fundamental UUD 1945 dalam hal "mencerdaskan kehidupan bangsa" dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi segenap warganya. Ini jelas-jelas pelanggaran bahkan pengingkaran terhadap tujuan Proklamasi 1945. Alih-alih mengambil tanggung jawab pendidikan yang kurang optimal, perumus, dan pengambil kebijakan negara justru bermaksud hendak menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dijualbelikan dengan mahal. Implikasinya jelas, pendidikan yang baik hanya layak dinikmati oleh masyarakat yang mampu
Di antara faktor yang menyebabkan pendidikan nasional menjadi semakin tidak menentu adalah karena problematiknya dipahami lebih sering dari berbagai sudut pandang, terutama dari sudut kepentingan dan kenyamanan birokrasi, kecuali dari sudut "pendidikan" sebagai pendidikan. Kalaupun pemahaman itu tidak apriori, tidak dapat dibantah bahwa pemahaman itu tidak terbatas dan penuh bias yang tidak menguntungkan bila diterapkan di dunia pendidikan dewasa ini. Karena persepsi nonpendidikan itu, penanganannya pun tidak dapat lain kecuali terbatas. Keterbatasan itu hanya bisa merusak.
Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,Ed. mengatakan, keterbatasan itu mengakibatkan bahwa "inti permasalahan pendidikan" yang fundamental tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan. Mem-BHP-kan dunia pendidikan seperti yang dicanangkan pemerintah (berdasarkan draf Depdiknas), beserta segala implikasinya (terutama privatisasi dan komersialisasi), serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperhitungkan akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi masyarakat. Masih harus dimasalahkan apakah mati hidupnya pendidikan nasional dewasa ini ditentukan ada tidaknya BHP. Sedikitnya, gagasan ini dapat membunuh inisiatif, kreativitas, dan spontanitas masyarakat, apabila diterapkan dengan diagnosis yang salah, dan dengan terapi yang salah, walaupun dengan niat yang betul. [6]
Perubahan paradigma pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah pastilah dipengaruhi oleh pandangan WTO tentang sektor industri atau usaha produktif. Sektor Primer adalah bidang-bidang usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor Sekunder adalah semua bidang usaha pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan barang yang diperlukan oleh publik (utilities). Sektor tersier adalah semua bidang usaha jasa untuk merubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sesuai dengan tipologi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya ialah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak berketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang memiliki ketrampilan.
Mem-BHP kan perguruan tinggi menurut hemat penulis, bahwa ada upaya untuk swastanisasi lembaga perguruan tinggi, dimana peran pemerintah pemerintah dalam pengelolaan dan manajemen, terutama yang berkaitan dengan subsidi operasional yang selama ini, masuk dalam pengelolaan BHMN semakin kecil. Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta (baca : pemodal) yang menanamkan kepemilikan melalui saham. Sehingga yang terjadi adalah ketidakbebasan pergurua tinggi dari aspek nilai-nilai yang dimiliki pihak swasta. Pendidikan tinggi dapat dijadikan sebuah sarana komersil bagi pemilik modal untuk meraup keuntungan.
Jika hal ini terjadi, maka lembaga pendidikan tinggi akan dihinggapi oleh budaya corporate, yaitu yang dikuasai oleh konsumerisme dan hubungan-hubungan atau kekuatan pasar. Hal ini merupakan bahaya dalam kehidupan demokrasi karena nilai-nilai moral mulai menghilang dalam kehidupan publik. Budaya corporate ini merupakan sumber kekuasaan di dunia yang mengglobal yang semakin menghilangkan kekuasaan negara. [7]
Upaya reformasi pendidikan melalui kehidupan demokratis, terutama dalam hal pemerataan dalam bidang pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tidak akan tercapai. Pendidikan dianggap telah menjadi barang mahal, tidak terjangkau, dan hanya bagi golongan mampu yang mengenyamnya. Bila demikian, dapat dikatakan sudah terjadi ambiguitas antara idealisasi pendidikan yang mengusung aspek egaliter, pemerataan, relevansi dan efesiensi. Dari aspek efesiensi, barangkali pemerintah cukup efesien, karena yang seharusnya lembaga PT disubsidi pemerintah tidak lagi, sehingga pemerintah dapat mengalokaskan angara untuk aspek lainnya.
RUU BHP yang diusulkan pemerintah kepada DPR dan bila disahkan akan menjadi Undang-Undang, penulis melihat bahwa persoalan pendidikan di Indonesia lebih banyak didekati dan dipahami dari aspek politik dimana hegemoni negara begitu kuat untuk memposisikan diri sebagai kekuatan absolut dan mengatur dirinya dalam bentuk kebijakan yang kurang populis, yang seharusnya pendidikan disikapi dengan landasan filosofis dan demokratis. Maka bila dilahat apa yang dilakukan pemerintah melalui perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan diusukan menjadi BHP lebih banya modharatnya, ketimbang manfaatnya.
Pengaruh globalisasi yang ditandai dengan hadirnya WTO dan GATT sebagai kekuatan monopoli pasar, sudah barang tentu berpengaruh pada pengambilan kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan. Sehingga implikasi yang muncul adalah komersialisasi pendidikan itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana sikap perguruan tinggi saat ini menghadapi derasnya arus globalisasi dan libealisasi tersebut.
1. Perguruan tinggi harus bersikap kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah melalui RUU BHP dengan memberikan pemikiran konstruktif tentang kebijakan tersebut, karena ini menyangkut persoalan hidup masyarakat yang dilindungi oleh negara. Pemikiran tersebut melihat dengan sikap bijak tentang dampak yang akan ditimbulkan, bila RUU BHP disahkan menjadi Undang-Undang dan sudah barang tentu akan dilaksanakan ditingkat operasional. Dilihat bagaimana dampak positif dan negatifnya terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keberlangsungan reformasi pendidikan yang tengah berjalan.
2. Perguruan tinggi sudah harus berfikir tentang bagaimana mutu atau kualitas lembaga pendidikan tingi bisa jauh lebih baik dengan meningkatkan standar mutu melalui ketrlibatan akreditasi nasional dan bahkan standar internasional. Hal ini penting untuk menambah daya saing perguruan tinggi buan saja pada level nasional, akan tetapi internasional yang selama ini, Indonesia dipandang jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang sudah menerapkan standar mutu sebagai bagian pencapaian tujuan pendididikan.










C. Penutup
Pada saat ini, RUU BHP sedang digodok oleh DPR dan melakukan uji publik sebetulnya ada keinginan pemerintah untuk melakukan upaya perbaikan dalam peningkatan kualitas pendidikan, namun bila dilihat dari konten RUU tersebut, penulis menilai masih sangat jauh dari harapan. Pemerintah seolah lepas tanggung jawab dalam pengelolaan lembaga pendidikan dan diserahkan kepada pasar dalam hal ini adalah pemodal untuk mengambil alih presentase kepemilikan lembaga pendidkan. Secara substantif, dapat dikatakan bahwa lahirnya RUU BHP bertolak belakang dengan amanat UUD 1945 dan asas egaliter dan kesetaraan dimana pendidikan adalah hak setiap warga negara. Saran kepada pemerintah, hendaknya RUU BHP tersebut harus dipertimbangkan lagi dan dicari jalan tengah agar subtansi dan filosofis pendidikan tidak hilang serta reformasi pendidikan tetap berlangsung.


________________________________________
[1] Har Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang : Indonesiatera, 2003), hal. 245
[2] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 7
[3] Lihat RUU BHP dalam uji public situs www. Depdiknas.org
[4] Hikmahanto Juwana, Apa Tujuan RUU BHP, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/20/humaniora/3105718.htm. Akses tanggal 31 Desember 2007

[5] Sofian Effendi, Implikasi RUU BHP dan Perpres No. 77/2007 Terhadap Perguruan Tinggi Islam Swasta,disampaikan dalam Konferensi PTIS se-Indonesia tanggal 08 September 2007 di UII
[6] Sali Iskandar, Pro-Kontra Rencana Mem-BHP-kan Dunia Pendidikan (2005), www.pikiranrakyatonline.com. Download tanggal 31 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar